Rabu, 25 Oktober 2017

Hakikat Dzikir oleh Syaikh Abul Qosim Al Qusyairi


Hakikat Dzikir



Syeikh Abul Qosim Al-Qusyairi
Allah swt. berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya.” (Q.s. Al Ahzab: 41).

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. telah bersabda :
“Maukah kuceritakan kepadamu tentang amalmu terbaik dan paling bersih dalam pandangan Allah swt, serta orang yang tertinggi derajatnya di antaramu, yang lebih baik dari menyedekahkan emas dan perak serta memerangi musuh-musuhmu dan memotong leher mereka, dan mereka juga memotong lehermu?” Para sahabat bertanya,“Apakah itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,

 “Dzikir kepada Allah swt.” (H.r. Baihaqi).  Diriwayatkan oleh Anas bin Malik na, bahwa Rasulullah saw. ‘bersabda: “Hari Kiamat tidak akan datang kepada seseorang yang mengucap ‘Allah, Allah’.” (H.r. Muslim).

Anas r.a. juga menuturkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Kiamat tidak akan datang sampai lafazh ‘Allah, Allah’ tidak lagi disebut-sebut di muka bumi.” (H.r. Tirmidzi).

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Dzikir adalah tiang penopang yang sangat kuat atas jalan menuju Allah swt. Sungguh, ia adalah landasan bagi tharikat itu sendiri. Tidak seorang pun dapat mencapai Allah swt, kecuali dengan terus-menerus dzikir kepada-Nya.”
Ada dua macam dzikir; Dzikir lisan dan dzikir hati. Si hamba mencapai taraf dzikir hati dengan melakukan dzikir lisan. Tetapi dzikir hatilah yang membuahkan pengaruh sejati. Manakala seseorang melakukan dzikir dengan lisan dan hatinya sekaligus, maka ia mencapai kesempurnaan dalam suluknya.
[pagebreak]
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar, “Dzikir adalah tebaran kewalian. Seseorang yang dianugerahi keberhasilan dalam dzikir berarti telah dianugerahi taburan itu, dan orang yang tidak dianugerahinya berarti telah dipecat. “

Dikatakan bahwa pada awal perjalanannya, Dulaf asy-Syibly biasa berjalan dijalan raya setiap hari dengan membawa seikat cambuk di punggungnya. Setiap kali kelalaian memasuki hatinya, ia akan melecut badannya sendiri dengan cambuk sampai cambuk itu patah. Kadang-kadang bekal cambuk itu habis sebelum malam tiba. Jika demikian, ia akan memukulkan tangan dan kakinya ke tembok manakala kelalaian mendatanginya.

Dikatakan, “Dzikir hati adalah pedang para pencari yang dengannya mereka membantai musuh dan menjaga diri dari setiap ancaman yang tertuju kepada mereka. Jika si hamba berlindung kepada Allah swt. dalam hatinya, maka manakala kegelisahan membayangi hati untuk dzikir kepada Allah swt, semua yang dibencinya akan lenyap darinya seketika itu juga.”

Ketika al-Wasithy ditanya tentang dzikir, menjelaskan, “Dzikir berarti meninggalkan bidang kealpaan dan memasuki bidang musyahadah mengalahkan rasa takut dan disertai kecintaan yang luar biasa. “
Dzun Nun al-Mishry menegaskan, “Seorang yang benar-benar dzikir kepada Allah akan lupa segala sesuatu selain dzikirnya. Allah akan melindunginya dari segala sesuatu, dan ia diberi ganti dari segala sesuatu.”

Abu Utsman ditanya, “Kami melakukan dzikir lisan kepada Allah swt, tapi kami tidak merasakan kemanisan dalam hati kami?” Abu Utsman menasihatkan, “Memujilah kepada Allah swt. karena telah menghiasi anggota badanmu. dengan ketaatan.”
Sebuah hadits yang masyhur menuturkan, bahwasanya Rasulullah saw. mengajarkan : “‘Apabila engkau melihat surga, maka merumputlah kamu semua di di dalamnya.” Ditanyakan kepada bellau, “Apakah taman surga itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu kumpulan orang-orang yang sedang melakukan dzikir kepada Allah.” (H.r. Tirmidzi).

Jabir bin Abdullah menceritakan, “Rasulullah saw. mendatangi kami dan beliau bersabda :
“Wahai ummat manusia, merumputlah di padang taman surga!” Kami bertanya, “Apakah taman surga itu?’ Beliau menjawab, “Majelis orang melakukan dzikir.” Beliau bersabda, “Berjalanlah dipagi dan petang hari, dengan berdzikir. Siapapun yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah swt, melihat pada derajat mana kedudukan Allah swt. pada dirinya. Derajat yang diberikan Allah kepada hamba-Nya sepadan dengan derajat dimana hamba mendudukkan-Nya dalam dirinya.” (H.r. Tirmidzi, juga riwayat darl Abu Hurairah).

Asy-Syibly berkata, “Bukankah Allah swt. telah berfirman, ‘Aku bersama yang duduk berdzikir kepada-Ku’. “Manfaat apa, wahai manusia dari orang yang duduk dalam majelis Allah swt.?” Lalu ia bersyair berikut: Aku mengingat-Mu bukan karena aku lupa pada-Mu sesaat; Sedang bagian yang paling ringan adalah dzikir lisanku. Tanpa gairah rindu aku mati karena cinta, Hatiku bangkit dalam diriku, bergetar, ketika wujd memperlihatkan Engkau adalah hadirku, Kusaksikan Diri-Mu di mana saja, Lalu aku bicara kepada yang ada, tanpa ucapan, Dan aku memandang yang kulihat, tanpa mata.

Di antara karakter dzikir adalah, bahwa dzikir tidak terbatas pada waktu-waktu tertentu, kecuali si hamba diperintah untuk berdzikir kepada Allah di setiap waktu, entah sebagai kewajiban ataupun sunnah saja. Akan tetapi, shalat sehari-hari, meskipun merupakan amal ibadat termulia, dilarang pada waktu-waktu tertentu. Dzikir dalam hati bersifat terus-menerus, dalam kondisi apa pun. Allah swt. berfirman :
“Yaitu orang orang yang dzikir kepada Allah, baik sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring (tidur).” (Q.s. Ali Imran: 191).
Imam Abu Bakr bin Furak mengatakan, “Berdiri berarti menegakkan dzikir yang sejati, dan duduk berarti menahan diri dari sikap berpura-pura dalam dzikir.”

Syeikh Abu Abdurrahman bertanya kepada Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq, “Manakah yang lebih baik, dzikir ataukah tafakur? Bagaimana yang lebih berkenan bagimu?” Beliau berkata, “Dalam pandanganku, dzikir adalah lebih baik dari tafakur, sebab Allah swt. menyifati Diri-Nya sebagai Dzikir dan bukannya fikir. Apa pun yang menjadi sifat Allah adalah lebih baik dari sesuatu yang khusus bagi manusia.” Maka Syeikh Abu Ali setuju dengan pendapat yang bagus ini.

Muhammad al-Kattany berkata, “Seandainya bukan kewajibanku untuk berdzikir kepada-Nya, tentu aku tidak berdzikir karena mengagungkan-Nya. Orang sepertiku berdzikir kepada Allah swt.? Tanpa membersihkan mulutnya dengan seribu tobat karena berdzikir kepada-Nya!”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali menuturkan syair:
Tak pernah aku berdzikir kepada-Mu
melainkan hatiku, batinku serta ruhku mencela diriku.
Sehingga seolah-olah si Raqib dari-Mu berbisik padaku,
‘Waspadalah, celakalah engkau. Waspadalah terhadap dzikir!
[pagebreak]
Salah satu sifat khas dzikir adalah, bahwa Dia memberi imbalan dzikir yang lain. Dalam firman-Nya :
“Dzikirlah kepada-Ku, niscaya Aku akan dzikir kepadamu.” (Q.s. Al Baqarah: 152).

Sebuah hadits menyebutkan bahwa Jibril as. mengatakan kepada Rasulullah saw, bahwasanya Allah swt. telah berfirman, “Aku telah memberikan kepada ummatmu sesuatu yang tidak pernah Kuberikan kepada ummat yang lain.” Nabi saw. bertanya kepada Jibril, “Apakah pemberian itu?” Jibril menjawab, “Pemberian itu adalah firman-Nya, ‘Berdzikirlah kepada-Ku, niscaya Aku akan akan berdzikir kepadarnu.’ Dia belum pernah memfirmankan itu kepada ummat lain yang mana pun.”

Dikatakan, “Malaikat maut minta izin dengan orang yang berdzikir sebelum mencabut nyawanya.”
Tertulis dalam sebuah kitab bahwa Musa as. bertanya, “Wahai Tuhanku, di mana Engkau tinggal?” Allah swt. berfirman, “Dalam hati manusia yang beriman.” Firman ini merujuk pada dzikir kepada Allah, yang bermukim di dalam hati, sebab Allah Maha Suci dari setiap bentuk “tinggal” dan penempatan. “Tinggal” yang disebutkan di sini hanyalah dzikir yang tetap dan sekaligus menjadikan dzikir itu sendiri kuat.

Ketika Dzun-Nun ditanya tentang dzikir, ia menjelaskan, “Dzikir berarti tiadanya ingatan pelaku dzikir terhadap dzikirnya.” Lalu ia membacakan syair :
Aku banyak berdzikir kepada-Mu bukan karena
aku telah melupakan-Mu;
Itu hanyalah apa yang mengalir dari lisanku.
Sahl bin Abdullah mengatakan, “Tiada sehari pun berlalu, kecuali Allah swt. berseru, ‘Wahai hamba-Ku, engkau telah berlaku zalim kepada-Ku. Aku mengingatmu, tapi engkau melupakan-Ku. Aku menghilangkan penderitaanmu, tapi engkau terus melakukan dosa. Wahai anak Adam, apa yang akan engkau katakan besok jika engkau bertemu dengan Ku’?”

Abu Sulaiman ad-Darany berkata, “Di surga ada lembah-lembah di mana para malaikat menanam pepohonan, ketika seseorang mulai berdzikir kepada Allah. Terkadang salah seorang malaikat itu berhenti bekerja dan teman-temannya bertanya kepadanya, ‘Mengapa engkau berhenti?’ Ia menjawab, ‘Sahabatku telah kendor dzikirnya’.
Dikatakan, “Carilah kemanisan dalam tiga hal: shalat, dzikir dan membaca Al-Qur’an. Kemanisan hanya dapat ditemukan di sana, atau jika tidak sama sekali, maka ketahuilah bahwa pintu telah tertutup.

Ahmad al-Aswad menuturkan, “Ketika aku sedang melakukan perjalanan bersama Ibrahim al-Khawwas, kami tiba di suatu tempat yang dihuni banyak ular. Ibrahim al-Khawwas meletakkan kualinya dan duduk, begitupun denganku. Ketika malam tiba dan udara menjadi dingin, ular-ular itu pun berkeliaran. Aku berteriak kepada Syeikh, lalu berkata, ‘Dzikirlah kepada Allah!’ Aku pun berdzikir, dan ular-ular itu akhirnya pergi menjauh. Kemudian mereka datang lagi. Aku berteriak lagi kepada Syeikh, dan beliau menyuruhku berdzikir lagi. Hal itu berlangsung terus sampai pagi. Ketika kami bangun, Syeikh berdiri dan meneruskan perjalanan, dan aku pun berjalan menyertainya. Tiba-tiba seekor ular besar jatuh dari kasur gulungnya. Kiranya semalam ular itu telah tidur bergulung bersama beliau. Aku bertanya kepada Syeikh, Apakah Anda tidak merasakan adanya ular itu?’ Beliau menjawab, “Tidak. Sudah lama aku tidak merasakan tidur nyenyak seperti tidurku semalam.”

Abu Utsman berkata, “Seseorang yang tidak dapat merasakan keganasan alpa, tidak akan merasakan sukacita dzikir.”
As-Sary menegaskan, “Tertulis dalam salah satu kitab suci, ‘Jika dzikir kepada-Ku menguasai hamba-Ku, maka ia telah asyik kepada-Ku dan Aku pun asyik kepadanya’.” Dikatakan pula, “Allah mewahyukan kepada Daud as, ‘Bergembiralah dengan-Ku dan bersenang-senanglah dengan dzikir kepada-Ku’!”

Ats-Tsaury mengatakan, “Ada hukuman atas tiap-tiap sesuatu, dan hukuman bagi seorang ahli ma’rifat adalah terputus dari dzikir kepada-Nya.”
[pagebreak]
Tertulis dalam Injil, “Ingatlah kepada-Ku ketika engkau dipengaruhi oleh kemarahan, dan Aku akan ingat kepadamu ketika Aku marah. Bersikap ridhalah dengan pertolongan-Ku kepadamu, sebab itu lebih baik bagimu dari pertolonganmu kepada dirimu sendiri.“

Dikatakan, ‘Apabila dzikir kepada-Nya menguasai hati manusia dan setan datang mendekat, maka ia akan menggeliat-geliat di tanah seperti halnya manusia menggeliat-geliat manakala setan-setan mendekatinya. Apabila ini terjadi, maka semua setan akan berkumpul dan bertanya, Apa yang telah terjadi atas dirinya?’ Salah seorang dari mereka akan menjawab, ‘Seorang manusia telah menyentuhnya’.”
Sahl berkata, “Aku tidak mengenal dosa yang lebih buruk dari lupa kepada Allah swt.”

Dikatakan bahwa malaikat tidak membawa dzikir batin seorang manusia ke langit, sebab ia sendiri bahkan tidak mengetahuinya. Dzikir batin adalah rahasia antara si hamba dengan Allah swt.
Salah seorang Sufi menuturkan, “Aku mendengar cerita tentang seorang, laki-laki yang berdzikir di sebuah hutan. Lalu aku pergi menemuinya. Ketika ia sedang duduk, seekor binatang buas menggigitnya dan mengoyak dagingnya. Kami berdua pingsan. Ketika ia siuman, aku bertanya kepadanya tentang hal itu, dan ia berkata kepadaku, Binatang itu diutus oleh Allah. Apabila engkau kendor dalam berdzikir kepada-Nya, ia datang kepadaku dan menggigitku sebagaimana yang engkau saksikan.”

Abdullah Al-jurairy mengabarkan, “Di antara murid-murid kami ada seorang laki-laki yang selalu berdzikir dengan mengucap Allah, Allah. Pada suatu hari sebatang cabang pohon patah dan jatuh menimpa kepalanya. Kepalanya pun pecah dan darah mengalir ke tanah membentuk kata-kata Allah, Allah.

Filosofi Dzikir oleh Imam Al Ghazali

Filosofi Dzikir

Imam Al Ghazali
Allah swt. berfirman: “... dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (Q.s. Al-Anfal: 45).
Dan firman-Nya pula kepada Nabi-Nya saw.: “Sebutlah

nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.” (Q.s. Al-Muzzammil: 8).
Rasulullah saw bersabda, “Berdzikir kepada Allah pada waktu pagi dan sore hari lebih utama daripada berperang di jalan Allah dan memberikan harta kepada orang lain, dengan hati penuh derma.” (AlHadits).

Sabda beliau pula :
“Maukah kalian aku beritahukan tentang amal terbaik dan lebih semerbak (harum) bagi Tuhanmu, lebih meninggikan martabatmu dan lebih baik daripada kalian memberikan binatang dan emas, serta lebih utama daripada kalian bertemu musuh kalian, lalu kalian hantam lehernya dan mereka juga memukul leher kalian?” Para sahabat bertanya, “Apakah itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Dzikir kepada Allah.” (Al-Hadits).

Dalam hadits lain beliau bersbda :
“Beruntunglah orang-orang yang menyendiri, beruntunglah orang-orang yang menyendiri!” Sahabat bertanya, “Siapa mereka ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu orang-orang yang terlena dalam berdzikir kepada Allah, lantaran dzikir, dosa mereka diampuni oleh-Nya, sehingga kelak pada hari Kiamat mereka datang dalam keadaan telah diringankan.” (Al-Hadits).

Ketahuilah, orang-orang ahli bashirah telah dibukakan hatinya, bahwa dzikir merupakan amal perbuatan yang paling utama. Sebagaimana amal-amal yang lain, dzikir pun mempunyai tiga lapisan kulit. Sebagian yang lain saling berdekatan dengan lubuk hati. Sebab, di balik ketiga lapisan, ada lubuk hati tersebut. Lapisan tersebut memiliki keutamaan, sebab berfungsi sebagai metode menuju dzikir. Lapisan teratas adalah dzikir lisan. Lapisan kedua adalah dzikir hati, karena. Ia harus selaras dengan dzikir, sehingga hati selalu hadir bersama dzikir. Jika tidak, Ia akan ditransmisi ke dalam wahana pikiran. Lapisan ketiga adalah bahwa dzikir harus bisa menempati dan menguasai hati, sehingga tidak melirik pada yang lainnya. Seperti pada lapisan kedua, dimana hati berfungsi secara proporsional dalam dzikir.

Lapisan keempat ialah isi (lubuk hati), yaitu Apa Yang (Obyek) didzikirkan (Allah) betul-betul mengakar dan bersemi dalam hati. Pada tahap ini seorang yang berdzikir, telah sirna dan tersembunyi dari dzikir itu sendiri. Inilah yang dimaksud tujuan dari lubuk hati. Yaitu, orang yang berdzikir tidak berpaling pada dzikir dan hatinya. Tetapi, tenggelam pada universalitas Allah yang diingatnya.

Apabila tiba-tiba berpaling pada dzikir, berarti la telah disibukkan kembali oleh hijab. Wahana ketenggelaman ini, disebut oleh para arifin ebagai wahana fana’. Yaitu, la sendiri telah fana’ dari dirinya, sampai tidak menyadari gerak-gerik raganya, ataupun kondisi yang keluar dari raga, ataupun berbagai penghalang batin dalam dzikir. Bahkan telah gaib dari seluruh dirinya, dan dirinya juga gaib dari semua raga dan gerak batinnya, menuju kepada Tuhannya, kemudian berjalan terus, sekali lagi.

Apabila di tengah-tengah fana’nya muncul intuisi yang membisikkan dirinya, bahwa la telah benar-benar fana’ total, maka intuisi tersebut hanyalah kekacauan dan kotoran. Padahal, wahana kesempurnaan adalah kefana’an dari diri sendiri, juga fana’ dari fana’, sampai pada pangkal kefana’an. Kondisi tersebut sering disangka kalangan fuqaha’ verbal sebagai kondisi kehampaan non-rasional. Padahal, bukan demikian. Wahana fanaul fana’ adalah - disandarkan pada nuansa kepada Sang Kekasih-seperti nuansaAnda ketika jatuh cinta kepada kekasih Anda, apakah karena faktor kedudukan, harta atau memang suatu pesona. Hal yang sama ketika Anda sedang marah, maka Anda pasti tenggelam dalam memikirkan musuh. Begitupun Anda akan tenggelam dan asyik masyuk memikirkan sang kekasih, sampai tiada lagi wahana yang tersisa dalam hati. Jika ada orang bicara, Anda tidak paham. Jika ada orang lewat di kanan-kiri Anda, Anda pun tidak melihat, padahal kedua mata Anda terbuka. Orang lain bicara, Anda tidak mendengar, padahal telinga Anda tidak tuli. Anda, ketika tenggelam dalam kefana’an lupa akan segalanya, bahkan lupa akan tenggelam itu sendiri.

Mengapa situasi tersebut dikatakan fana’? Walaupun antara diri dan bayangannya masih tetap ada? Karena diri dan bayang-bayang serta seluruh dimensi inderawi bukanlah hakikat wujud.
Wujud hakiki ada pada alam amr dan alam malakut. Sedangkan ruh itu berasal dari alam amr, sebagaimana firman-Nya :
“Katakanlah, ‘Ruh itu adalah amr Tuhanku’.” (Q.s. Al-Isra’: 85).

Sementara qalbu fisik tergolong alam makhluk. Sedangkan konteks qalbu atau hati dalam buku ini adalah lathifah yang berfungsi sebagai pengingat, yang mengetahui, yang menjadi tempat bersemainya cahaya Ilahi. Bukannya qalbu fisik.

Namun tidak berarti mengisyaratkan, Ruh itu qadim dan qalbu itu hadits. Keduanya, tetap bersifat baru (hadits).

Yang kami maksud dengan makhluk adalah sesuatu yang padanya terjadi persekutuan dan takdir, yaitu jasad dan sifat-sifatnya. Sedangkan yang kami maksud dengan alam amr, adalah sesuatu yang tidak dilintasi oleh takdir.

Alam fisik jasmani, sesungguhnya tidak memiliki wujud yang esensial. Namun, sebagai dimensi bayangan belaka. Bayangan manusia bukanlah hakikat manusia itu sendiri. Seseorang tidak memiliki hakikat wujud. Tetapi, hanya memiliki bayangan hakikat. Semuanya ciptaan Allah swt.

Allah swt. berfirman:
“Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari.” (Q.s. Ar-Ra’d: 15).
Sujudnya alam amr bersifat patuh/taat kepada Allah, sedang sujudnya bayang-bayang bersifat terpaksa. Di bawahnya ada rahasia-rahasia yang dalam, yang permulaannya menggerakkan mata rantai kegilaan yang dahsyat, apalagi akhirnya. Karenanya, Anda perlu mencermati, dan dengan begitu, Anda baru paham apa yang disebut fana’ itu. Maka, Anda harus meninggalkan ucapan yang berbau fitnah dan dusta, terhadap obyek ilmu yang Anda tidak mumpuni.
Allah swt. berfirman :
“Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka befum mengetahuinya dengan sempurna...„“(Q.s. Yunus: 39).
Dan firman-Nya :
“Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya, maka mereka akan berkata, ‘Ini adalah dusta yang lama’.” (Q.s. Al-Ahqaaf. 11).

Jika fana’ sudah dipahami sedemikian rupa, maka itulah awal menempuh jalan ruhani (thariqah). Yakni, pergi menuju kepada Allah swt, sedangkan petunjuk datang kemudian. Petunjuk dimaksud adalah petunjuk Allah swt, seperti kata Ibrahim Al-Khalil as, dalam firmanNya :  “Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (Q.s. Ash-Shaaffaat: 99).

Amar pertama adalah pergi kepada Allah, kemudian pergi “di dalam” Allah, dan itulah fana’ serta tenggelam dalam kefana’an. Tetapi ketenggelaman itu, pertama-tama seperti Hat yang cepat. Namun bila kilatan itu permanen, menjadi kebiasaan yang meresap dalam j iwa, maka hamba naik pada alam yang lebih tinggi, dan melihat wuj ud hakiki yang murni, la mendapat cap ukiran malakut. Pada dirinya tampak kesucian alam lahut. Proyeksi pertama yang muncul pada alam tersebut adalah: Inti-inti malaikat, arwah para Nabi dan wall, dalam bentuk yang sangat indah, yang dengan perantaraannya, mengalir sebagian kebenaran hakiki. Ini pada tahap permulaan, sampai kemudian naik ke deraj at yang lepas dari segala metafora. Cukup dengan kejelasan Allah swt. Yang Maha Haq, dalam segalanya.

Apabila ia dikembalikan pada alam metafor yang semata bayangbayang, la memandang ke makhluk dengan pandangan penuh kasihan, karena mereka terhalang untuk memandang keindahan Ilahi Yang Maha Suci. Dan la pun merasa heran, mengapa mereka menerima begitu saja, dengan bayang-bayang, mereka memihak pada rekayasa alam tipudaya dan khayalan. Maka, ketika la bersama mereka, la tarrlpak hadir, tetapi hatinya gaib, sembari merasa heran dengan kehadiran mereka. Sementara mereka juga heran akan kegaibannya.

Itulah buah dari dzikir lubuk hati. Awalnya adalah dzikir lisan, kemudian dzikir hati dengan diatur, lantas menjadi watak hati itu sendiri. Pada tahap berikutnya lebur dalam wahana yang diinga bahkan dzikirnya pun telah terberangus. Inilah rahasia sabda Rasul ullah saw, “Barangsiapa cinta untuk dinaikkan ke derajat taman surgc maka perbanyaklah dzikir kepada Allah swt.”

Dan merupakan rahasia dari sabdanya pula, “Dzikir hati melebik tujuhpuluh kali lipat daripada dzikir yang bisa didengarkan secara hafalan.”
Suatu dzikir yang dirasakan oleh hati Anda dan didengar dalar hafalan, maka perasaan mereka akan menyamai perasaan Anda. Da: di dalam hal ini ada rahasia sampai ketika dzikir Anda tidak teringa dari perasaan Anda, karena kepergian Anda kepadaYang diingat (Alla swt.) secara total. Sehingga dzikir Anda pun musnah dari perasaan hafalan Anda.

Sepanjang hati merasakan nikmatnya dzikir dan berpaling pad bentuk dzikir itu sendiri, maka hati telah terhalang dari Allah sw Apabila hati tidak ragu-ragu, jauh dari syirik samar (syirk khafy sehingga la menjadi hamba yang tenggelam dalam kemahaesaan Al Haq, maka la disebut hamba yang bertauhid.
Begitu pula tentang ma’rifat. Siapa yang mencari ma’rifat, derr ma’rifat, la seperti dzikir yang mengingat dzikirnya. Sedangkan oran yang memperoleh ma’rifat, justru seperti orang yang tida mendapatkannya, tetapi yang didapati adalah Yang dima’rifati (Allah swt). Dia telah menempatkan diri dalam wahana dari hakikat wisha dan berada pada nuansa qudus.
Jika Anda bertanya, “Mengapa mukasyafah tersebut ditentuka : dalam tahap fana’?”

Perlu Anda ketahui, untuk menjelaskannya perlu kisah yan panjang. Jika Anda merenungkannya, Anda tidak bisa membatasi dil pada alam inderawi, tumpuan nafsu dan syahwat, yang menggirin pada jagad empirik yang penuh dengan dusta dan tipudaya.

Oleh sebab itu, Allah swt. menj elaskannya dengan alam kematiar Karena kompetensi alam empirik inderawi dan khayalan yan menghadapkan hati pada alam terbawah, dianggap batal.
Jika Anda berpaling dari realita inderawi ketika tidur, Anda bis melihat sesuatu yang gaib menurut kadar kesiapan, penerimaan dan cita-cita anda. Anda menjumpainya lewat metaphor yang perlu di terjemahkan lagi.
Saya tidak berprasangka, bahwa Anda tidak akan mendapati mimpi yang benar, yang bisa memprediksi masa depan. Namun, khayalan sering tidak menenangkan tidur walaupun anggota badan telah tenang.
Itulah yang menjadi sebab lemahnya penglihatan hati, yang tidak pernah sunyi dari gambaran-gambaran buram.

Fana’ merupakaii konotasi dari wahana tenangnya anggota fisik, yang tidak lagi bergerak. Kemudian di dalam ketenangan itu muncul imajinasi yang tidak bercampur-baur. Apabila imajinasi itu tetap dominan, maka tidak akan dipengaruhi, kecuali oleh desakan wahana yang tampak dari alam suci, sehingga para Nabi, malaikat, dan ruhruh qudus, tergambar dalam proyeksi imajinasi hati.

Inilah persoalan yang mengingatkan Anda, agar Anda berhasrat menjadi ahli rasa (ahli dzauq). Jika Anda tidak mampu demikian, seyogyanya Anda menjadi pakar ilmu bidang batin. Jika kepakaran ini tidak bisa Anda raih, Anda cukup beriman saja.
Allah swt. berfirman :
“... niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Q.s. Al-Mujadilah: 11).

Dan sekali-kali jangan sampai Anda tergolong orang-orang yang mengingkari fenomena fana’ ini, yang karenanya Anda disiksa, ketika kebenaran dibuka saat sakaratul maut, di mana nasib Anda sangat ditentukan.
Allah swt. telah berfirman:
“Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan dari padamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” (Q.s. Qaaf 22).

Iman, ilmu dan rasa, adalah tiga derajat yang membentang. Orang yang impoten, misalnya, terproyeksi benar adanya birahi bersetubuh pada lain jenis, dengan gambaran bahwa hal itu diterima dari orang yang menduga balk terhadap orang tersebut dan tidak dicampur-bauri oleh kebohongan. Gambaran ini seperti iman. Apabila terproyeksi, bahwa adanya birahi tersebut diketahui lewat bukti-bukti, disebut sebagai ilmu. Referensinya adalah qiyas, ketika memandang keinginannya pada makanan misalnya, maka dianalogikan pula nafsu makan tersebut dengan birahi seksual. Semuanya tetap jauh dari penemuan hakikat birahi dengan adanya birahi itu sendiri pada dirinya.

Begitu juga orang awam yang sehat yang melihat orang sakit, dan ia percaya (iman) begitu saja. Sementara si dokter melihatnya dengan bukti-bukti. Penglihatan dokter ini disertai ilmu. Siapa pun yang tidak pernah sakit, la pasti tidak pernah mengenal rasa sakit. Demikian juga tentangfana’ dalam tauhid; rasa adalah musyahadah, ilmu adalah qiyas, dan iman adalah perspektif secara berbaik sangka (husnudzan) tanpa disertai keraguan. Maka, berusahalah agar Anda bisa bermusyahadah, sebab tidak ada kabar yang lebih gamblang daripada menyaksikan dengan nyata.

Apabila Anda bertanya, “Betapa besar persoalan dzikir, lalu lebih utama mana antara dzikir dan membaca Al-Qur’an?” Perlu diketahui, bahwa membaca Al-Qur’an lebih utama bagi makhluk secara menyeluruh, kecuali bagi orang yang pergi menuju kepada Allah swt. Membaca Al-Qur’an akan menjadi amal paling utama bagi mereka yang pergi menuju Allah swt. dalam totalitas perilaku awalnya, dan sebagian perilaku akhirnya. Sebab, Al-Qur’an mengandung bagianbagian pengetahuan, tingkah laku ruhani dan petunjuk jalan. Sepanjang hamba senantiasa butuh pada pembersihan akhlak dan pengetahuan, Al-Qur’an lebih utama. Tetapi, apabila membaca Al-Qur’an tidak disertai perilaku batin seperti itu, sedang dzikir lebih dominan dalam hatinya, sehingga dzikir mendorongnya pada wahana ketenggelaman ruhani, maka dzikirlah yang lebih utama. Karena membaca Al-Qur’an, menarik intuisinya dan mengarahkan pada hamparan taman surga.

Sementara, murid yang pergi menuju Allah swt. tidak layak menoleh pada surga dan taman-tamannya. Tetapi, cita-citanya hanya satu, dzikirnya hanya satu tujuan, sampai la mendapatkan derajat fana’ dan ketenggelaman. Karena itu, Allah swt. berfirman :
“Dan sungguh, dzikir kepada Allah itu lebih besar.” (Q.s. Al-’Ankabut: 45).

Orang yang sampai pada derajat kefana’an, tetapi tidak abadi dan tidak tetap, maka sebaiknya la introspeksi diri, sebab, kadang-kadang membaca Al-Qur’an lebih bermanfaat terhadap dirinya. Kondisi demikian memang langka, seperti nuansa al-Kibritul Ahmar. Bisa dibicarakan secara teoritis, tetapi tidak bisa didapatkan.

Maka, mutlak membaca Al-Qur’an akan lebih utama. Sebab, amal tersebut menjadi lebih utama dalam segala kondisi, kecuali ketika sedang disibukkan bicara. Karena inti dari Al-Qur’an adalah mengenal Dzat Yang Berfirman melalui Al-Qur’an, mengetahui keindahan dan tenggelam karena-Nya. Al-Qur’an menuntun kepada-Nya, dan memberi petunjuk ke wahana-Nya. Siapa yang mengutamakan tuj uan pasti tidak akan menoleh pada jalan.

Bila Anda masih bertanya, “Dzikir mana yang lebih utama?” Ketahuilah - sebagaimana kami sebut - yang paling utama adalah supremasi Allah dalam hati sebagai obyek, yang didzikirkan. Yaitu, Satu, tidak lebih, sampai terseleksi mana yang utama. Itu semua, merupakan kenyataan jamak dan penunggalan (tauhid). Sementara keragaman dan kuantita, muncul sebelumnya. Kondisi tersebut terjadi sepanjang Anda ada pada tahap dzikir lisan dan hati, yang kemudian terbagi pula dalam dzikir utama dan tidak utama. Keutamaannya, terletak pada kriteria sifat-sifat berdzikir yang dilakukan.

Sifat-sifat Allah swt. dan Asma-Nya, dalam Hak Allah swt. terbagi menjadi dua kategori :
Pertama, hal-hal yang memang benar dalam hak hamba, dan diorientasikan pada hak Allah swt, seperti sifat dan Asma : As-Shabbur, As-Syakuur, Ar-Rahim dan Al-Muntaqim.
Kedua, suatu sifat dan Asma yang hanya benar dalam hak-Nya. Apabila digunakan selain Diri-Nya, penggunaan itu hanya bersifat metafor.

Dzikir paling utama adalah ucapan :
“Tiada Tuhan selain Allah, Yang Maha Hidup lagi Maha Mengurus makhluk.”

Sebab, dalam dzikir tersebut ada Nama Allah Yang Agung, sebagaimana sabda Rasul saw, ‘Asma Allah YangAgung itu ada dalam ayat Kursi dan awal surat Ali Imran.” Dua Asma tersebut tidak bersamaan, kecuali pada ayat tersebut. Pasti ada rahasia yang dalam dan tersembunyi dari pemahaman Anda.

Sekadar pemahaman sederhana, bisa dirumuskan, bahwa ucapan : Laa ilaaha Illallah, mensyiarkan tauhid, memberi arti Wahdaniyah (sifat Ketunggalan) dalam Dzat dan Ketuhanan, bersifat hakiki dalam Hak Allah swt, tanpa ditakwil. Namun, pada hak selain Diri-Nya, bersifat metafor dan harus ditakwilkan.

Begitu pula Al-Hayy, pengertiannya adalah Dzat yang hidup dengan Dzat-Nya, dan mengetahui Dzat-Nya. Sedangkan mayat adalah dzat yang tidak memiliki akses informasi dari substansinya. Al-Hayy merupakan predikat hakiki bagi Allah swt. tanpa harus ditakwilkan.
Al-Qayyum memberikan pengertian bahwa Dia Maha Tegak dengan Dzat-Nya, dan segala yang ada tegak karena sifat tegak-Nya. Predikat ini pun bersifat hakiki bagi Allah swt. tanpa ditakwilkan, sebab selain-Nya tidak ada yang memiliki predikat tersebut.

Selain Asma tersebut, dari sejumlah Asma Allah yang memiliki indikasi pada Perbuatan (Af’aal) Allah swt, seperti Ar-Rahiim, AlMuqsith, Al Adl dan lain sebagainya. Asma tersebut tidak menunjukkan arti sifat-sifat langsung. Karena sumber-sumber Af’al adalah sifat-sifat. Sifat sebagai predikat asli, kemudian diikuti oleh Af’al. Selain sifat-sifat yang mengindikasikan pada sifat Qudrat, Ilmu, Iradat, Kalam, Sama’ dan Bashar - yang sebagian diduga bahwa ketetapan sifat tersebut bagi Allah swt. sebagai pengertian dari perspektif lahiriahnya, padahal jauh berbeda, sebab pemahaman lahiriah merupakan persoalan yang dikaitkan dengan sifat-sifat manusia. Sedangkan Kalam, Qudrat, Ilmu, Sama’ dan Bashar-Nya, merniliki esensi-esensi yang ketetapannya mustahil bagi manusia. Maka, nama-nama tersebut dikecualikan dari segala bentuk penakwilan.

Hal tersebut mengingatkan pada hal-hal yang terkandung dalam pemahaman Anda dari spesifikasi kalimat-kalimat ini, sebagai sesuatu yang besar. Ucapan Anda berikut ini, lebih mendekati :
“Subhaanallaah wal Hamdulillaah wa laailaaha Illah wallahu Akbar. “
(Maha Suci Allah dan. segala puji bagi Allah, dan tiada Tuhan selain Allah, dan Allah Maha Besar).

Sebab, Subhaanallaah sebagai konotasi penyucian yang secara hakiki memang Hak-Nya. Kesucian hakiki tidak dapat diproyeksikan, kecuali hanya bagi Allah swt. Ucapan : Alhamdulillah memberi pengertian sandaran nikmat seluruhnya hanya kepada Allah swt. Pengertian tersebut bersifat hakiki. Sebab, Dia-lahYang Tunggal dalamAf’al, ketunggalan esensial tanpa takwil. Allah swt. Yang berhak menerima pujian semata. Sebab, bagi-Nya tidak ada sebutan dalam pekerjaan-Nya. Sebagaimana pula, tidak adanya sekutu bagi pena bersama penulis untuk memiliki hak pujian pada sisi kebajikan.

Minggu, 22 Oktober 2017

Macam - Macam Dzikir oleh Syeikh Abul Hasan asy-Syadzily

Macam - Macam Dzikir

Syeikh Abul Hasan asy-Syadzily 
Dzikir  itu ada empat :
1) Dzikir, di mana engkau mengingat  dzikir;
2) Dzikir engkau diingatkan melalui dzikir;
3) Dzikir yang  mengingatkan dirimu; dan
4) Dzikir yang engkau sendiri yang diingat oleh Allah swt (Dzikir bersama Allah swt).
Yang  pertama adalah dzikirnya kalangan awam, yaitu  dzikir  untuk mengingatkan  kealpaan  atau mengingatkan dari  kekawatiran  akan kealpaan.
Kedua,  adalah  dzikir,  dimana engkau  diingatkan,  baik  berupa siksa, nikmat, taqarrub ataupun jauh dari Allah, dan  sebagainya, ataupun karena Allah swt.

Ketiga, dzikir yang mengingatkan dirimu, pada empat obyek, bahwa :
Seluruh  kebaikan datangnya dari Allah;
  1. Seluruh  kejahatan datangnya  dari  nafsu;
  2. Dan keburukan  datangnya  dari  musuh, walaupun  Allah  swt.  yang menciptakannya; dan
  3. Dzikir  yang engkau sendiri yang diingat (Allah). Yaitu dzikirnya Allah kepada hamba-Nya.  Pada tahap ini hamba tidak memiliki kaitan dirinya atau lainnya,  walaupun itu  meluncur melalui ucapannya. Inilah posisi fana’ dalam dzikir, tidak  membutuhkan dzikir  atau yang diingat (Yang Didzikiri) Allah Yang Maha Tinggi dan  Luhur.  Apabila engkau  masuk  di dalamnya, maka  dzikir  menjadi  yang  diingat (madzkur), dan yang diingat (madzkur) menjadi yang mengingat (Dzakir). Inilah puncak dalam suluk. (Dan Allah Maha baik dan Maha Abadi).
Seharusnya  engkau  melakukan dzikir yang bisa  aman  dari  siksa Allah  di  dunia dan di akhirat,  di samping dzikir itu dalam rangka meraih  Ridlo Allah Ta’ala di dunia dan di akhirat, pegang teguhlah, dan langgenggkanlah.  Yaitu engkau berdzikir dengan :
“Segala puji bagi Allah, aku mohon ampun kepada Allah. Tiada daya dan  kekuatan  kecuali dari Allah. Alhamdulillah, karena adanya nikmat dan kebajikan  dari  Allah. Astaghfirullah,  karena adanya faktor yang datang dari nafsu  dan dari musuh, walaupun sebenarnya datang dari Allah baik karena ciptaan maupun kehendakNya. Dan “Lahaula  wala  Quwwata  illa Billah,” karena  datangnya  berbagai peristiwa perintang yang datang kepadamu dari Allah, dan apa yang muncul padamu sesungguhnya dari Allah swt.”

Camkanlah, karena rahasia batin itu jarang terjadi dalam  dzikir, atau dalam fikir, atau ketika diam dan hening kecuali pada  salah satu empat hal tersebut: Jika terjadi kebajikan atau keburukan. ucapkanlah : Alhamdulillah atau Astaghfirullah.

Namun apabila datang sesuatu dari Allah kepadamu atau dari  dirimu,  yang tidak jelas kebaikan atau keburukan di sana,  sementara Anda tidak mampu menolak atau menarik, maka ucapkanlah :
Laa Haulla walaa Quwwata Illa Billaah

Lalu  gabungkanlah ketiga dzikir tersebut pada setiap  saat,  dan langgengkan, Anda akan menemukan barakah, Insya Allah Ta’ala.
Ketuklah pintu dzikir  dengan hasrat dan sikap sangat membutuhkan kepada Allah melalui sikap disiplin ketat yang manjauhkan diri dari bayangan dan imajinasi yang beragam jenis, disamping menjaga rahasia batin (sirr) agar jauh dari  bisikan  nafsu dalam  seluruh nafas, apabila Anda ingin  memiliki  kekayaan ruhani.

Di sana  ada tida dimensi: Tuntaskan lisanmu untuk dzikir,  hatimu untuk  tafakkur, dan tubuhmu untuk menuruti perintah-Nya.  Dengan demikian Anda bisa tergolong orang-orang shaleh.

Manakala dzikir terasa berat di lisanmu, dan obrolan lebih banyak di  sana, sedangkan nafsu kesenangan membentangkan  tubuhmu,  sedangkan pintu kontemplasi tertutup dalam upaya kebajikanmu :  maka ketahuilah,  semata itu karena besarnya dosa-dosamu, atau  karena penuhnya kemunafikan dalam hatimu.

Tak  ada jalan lain bagimu kecuali taubat, memperbaiki  diri  dan bergantung kepada Allah swt, serta ikhlas dalam beragama. Apakah  Anda tidak mendengar firman-Nya :
“Kecuali orang-orang yang bertaubat, berbuat kesalehan dan  menggantungkan  diri kepada Allah, serta berbuat ikhlas dalam  menjalankan  agama Allah. Maka mereka itu bersama orang-orang  mu’min.(Q.s......)”

Di  sini  Allah tidak berfirman  “termasuk  orang-orang  mu’min” Karena itu renungkan, apabila Anda faham. Wallahu A’lam.

Ayat Ayat Dzikir oleh Syeikh Muhyiddin Ibnu Araby

Ayat Ayat Dzikir



“Maka dzikirlah kepadaKu, maka Aku Dzikir kepadamu.”
Maknanya, dzikirlah kepadaKu dengan menjawab patuh, dengan taat, dengan kehendak, maka Aku ingat kepadamu dfengan limpahan anugerah, limpahan
melalui penempuhan jalan kepadaKu dan limpahan Nurul Yaqin.
“Yaitu orang yang berdzikir kepada Allah dengan berdiri dan duduk dan tidur dan bertafakur dalam penciptaan langit dan bumi. Ya Tuhan kami Engkau tidak menciptakan semua ini batil. Maha Suci ngkau, maka lindungi kami dari siksa neraka.”
“Yaitu orang yang berdzikir kepada Allah” dalam segala kondisi, dengan berbagai situasi.
“Dengan berdiri”  di dalam maqom Ruh dan Musyahadah.
“Dan duduk “ dalam posisi qalbu melalui Mukasyafah.
“Dan tidur”  yakni ketika pada posisi pergolakan mereka di posisi nafsu, melalui Mujahadah (perjuangan melawan hawa nafsu.”
“Dan bertafakur” dengan lubuk jiwa yang dalam yang murni dan bersih dari kotoran imajinasi.
“Dalam penciptaan  langit dan bumi.” Yakni dalam penciptaan alam Ruh dan alam fisik, lantas bermunajat, ketika bermusyahadah:

“Ya Tuhan kami Engkau tidak menciptakan semua ini batil.”  Maksudnya batil aadalah sesuatu selain DiriMu, karena selain DiriMu adalah batil, bahkan Engkau jadikan semua itu sebagai ekspressi dari Asma’ dan SifatMu.

“Maha Suci Engkau, “ Sungguh Maha Suci Engkau, jika ditemukan Selain DiriMu, bahwa segala sesuatu mana pun pastilah Engkau Menyertainya.
“Maka lindungi kami dari siksa neraka.” Dari neraka hijab atas semesta ini dari Af’al-af’alMu, dan hijab Af’al dari SifatMu, dari Hijab Sifat dari DzatMu, dengan perlindungan paripurna yang mencukupi.

“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir sebanyak-banyaknya, dan bersabihlah kepadaNya di waktu pagi dan petang.”

“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir sebanyak-banyaknya,“ dengan Lisan di Maqom Nafu, dengan Hadir di Maqom Qalbu, dengan Munajat di Maqom Sirr, dan dengan Musyahadah di Maqom Ruh, serta Wushul di Maqom KHafa’, dan Fana’ di Maqom Dzat.

“Dan bersabihlah kepadaNya” melalui upaya memasuki Tajrid dari Af’al, Sifat dan Dzat.

“Di waktu pagi “ ketika waktu terbitnya fajar cahaya qalbu.
“Dan petang.” Ketika datangnya kegelapan nafsu, dan malam sirnanya matahari Ruh melalui fana’  dalam Dzat. Yakni dari waktu fajar cahaya hati hingga fana’ dalam keabadianNya selamanya.

“Yaitu orang-orang yang beriman dan  hati mereka tenteram dengan berdzikir kepada Allah. Ingatlah dengan mengingat Allah qalbu jadi tenteram.” (Ar-Ra’d: 28)

“Yaitu orang-orang yang beriman” yakni mereka yang hatinya kembali mengenalNya.

“Dan  hati mereka tenteram dengan berdzikir kepada Allah. Ingatlah dengan mengingat Allah qalbu jadi tenteram.”.”

Dengan dzikir nafsu melalui Lisan,  dan Tafakkur dalam nikmat-nikmatNya, atau Dzikir Qalbu melalui renungan di alam Malakut, memandang Sifat-sifat Maha Indah dan Maha AgungNya .

Dalam kualifikasi dzikir ada:
•    Dzikir Nafsu dengan Lisan dan merenungkan nikmatNya.
•    Dzikir Qalbu dengan melihat Sifat-sifatNya.
•    Dzikir Sirr dengan Munajat.
•    Dzikir Ruh dengan Musyahadah.
•    Dzikir Sunyi Jiwa (Khafa’) dengan rindu asyik ma’syuk.
•    Dzikrullah dengan fana’ di dalamNya.

Nafsu senantiasa mengalami nuansa sempit manakala muncul karakternya dan ucapannya, hingga mempengaruhi hati. Bila berdzikir kepada Allah, nafsu jadi tenang dan sirnalah keraguan (waswas) sebagaimana sabda Nabi saw: “Sesungguhnya syetan meletakkan belalainya pada qalbu manusia, dan manakala manusia berdzikir, maka ia menyingkir, hingga qalbu jadi tenang.”

Begitu juga Dzikir qalbu di alam Malakut dan memandang alam Jabarut. Semua dzikir tidak terjadi kecuali setelah terbangunnya rasa tenteram.  Sedangkan amal; saleh di sana sebagai “pembersihan” dan “periasan jiwa”.
“Niscaya Dzikir Allah itu lebih besar” (Al-Ankabut)
[pagebreak]
Yaitu Dzikr Dzat dalam Maqom Fana’ Murni dan Rahmat Allah swt di Maqom Tamkin (kemandirian ruhani bersamaNya) di Maqom Baqo’ adalah lebih besar dari seluruh dzikir yang ada.
“Dan apabila sholat sudah ditunaikan maka menebarlah di bumi dan raihlah anugerah Allah, dan berdzikirlah sebanyak-banyaknya agar kalian meraih kebahagian.” (Al-Jum’ah: 10)

“Dan apabila sholat sudah ditunaikan maka menebarlah di bumi “ suatu perintah  untuk bertebar dalam urai di bumi dan meraih anugerah Allah usai sholat. Semua itu sebagai isyarat untuk kembali pada penguraian setelah hamba fana’ dalam maqom Al-Jam’u (maqom berpadu dengan Allah) dalam sholat hakikat.

Sebab berhenti saja di maqom al-Jam’u merupakan Hijab Allah dari makhluk, hijab Dzat dari Sifat.

Maka “berurai”  adalah wujud berbalik dalam Sifat pada saat kondisi Al-Baqo’ setelah Fana’ dengan Wujud Hakiki dan berjalan  bersama Allah dalam kemakhlukan, serta meraih fadhal Allah, yakni meraih bagian-bagian Tajallinya Asma’ dan Sifat, dan kembali ke Maqom bumi nafsu, dan menyelaraskan Nafsu manusia dengan Allah swt.

“Dann berdzikirlah sebanyak-banyaknya.” Yakni hadirkanlah Kesatuan Tunggal Esensial dalam nuansa “Banyak”nya Sifat-sifat. Bahwa  ia tidak terhijab oleh “keragaman banyak” dari KemahatunggalanNya, jauh dari sesat setelah meraih hidayah, dan senantiasa terus menerus disiplin dalam Istiqomah di dalam penyelarasan dan [pemenuhan Hak-hak Allah dan Hak Makluk secara bersamaan; menjaga “Padu” dan “Urai” secara bersamaan pula.

“Agar kalian meraih kebahagian” dengan kem,enangan agung, yaityu hikmah posisi “perpaduan”.

“Dan siapakah yang lebih dzolim disbanding orang yang menghalang-halangi mengingat Nama  Allah di masjid-masjid Allah, dan berusaha merobohkannya?” (Al-Baqoroh: 114)

Siapakah yang lebih dzolim  dan lebih hancur disbanding orang yang merusak kebenaran Allah swt, yang menhalabngi masjid-masjidNya  yaitu tempat sujud kepada Allah, yang tak lain adalah qalbu-qalbu beriman, yang di dlamnya mengenal Allah swt. Hingga qalbu sujud dengan kefanaan Dzat.

Sebab dalam qalbu itu disebut NamaNya dalam dzikirnya berupa Ismul A’dzom (Nama Agung), karena Ismul A’dzom itu tidak akan tampak kecuali dalam qalbu, yaitu Tajallinya Dzat dalam semua Sifat, atau AsmaNya yang khusus yang masing-masing ada secara Paripurna berselaras dengan kesiapan dalam qalbu hambaNya.

Lantas yang paling dzolim juga berupaya merobohkan masjid-masjid qalbu yang berdzikir itu dengan cara mengotorinya, mengalahkannya mencampurinya dengan berbagai imajinasi, dengan campuran fitnah yang merusak di dalamnya, yang menyeret nafsu dan syetan, keraguan dan gangguannya.

Di dunia mereka ini hina dina, karena batilnya agama dan akidahnya, disamping upayanya merusak kebenaran agama Allah swt, sedangkan di akhirat mereka meraih siksa besar, yaitu terhijab dari Allah swt, karena keyakinannya.

“Di rumah-rumah, Allah mengizinkan NamaNya diluhurkan dan disebut. Di dalamnya ia bertabih bagiNya pagi dan petang.”

“Lelaki-lelaki yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli, dari dzikir kepada Allah…” (An-Nuur 36)

“Di rumah-rumah,” qalbu beriman, Allah memberi hidayah kepada yang dikehendaki dalam berbagai tahapan,.

“ Allah mengizinkan NamaNya diluhurkan” ditinggikan bangunan-bangunannya , diluhurkan derajat-derajatnya.
“Dan disebut,” dalam dzikir, Asma dengan lisannya, mujahadah dan berakhlaq dengan berbagai akhlaq di maqom nafsu; dan hadirnya hati, muroqobah, berkarakter dengan sifat luhur di maqom qalbu..
Disamping munajat, dialog dan perwujudan hakikat di maqom Sirr (Rahasia Qalbu), serta Musyahadah di dalam cahaya di Maqom Ruh, tenggelam, terliput, dan fana’ di Maqom Dzat.

“ Di dalamnya ia bertabih bagiNya pagi dan petang.” Melalui Tanzih, Tauhid, Tajrid dan Tafrid, baik di pagi Tajalli dan petangnya tirai.

“Lelaki-lelaki” yaitu mereka yang tergolong sebagai individu yang bergegas cepat  menuju Allah, menepiskan segala hal selain Allah, menyendiri bersama Allah, dan bangkit bersama Allah swt.
“Yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli, “  dengan tidak menukar zuhudnya dengan dunia hina, juga tidak menjual dirinya dengan hartanya, “dari dzikir kepada Allah…”

  (Tulisan ini, merupakan bagian dari Penafsirasn Syeikh Muhyiddin Ibnu ‘Araby  seputar ayat-ayat tentang Dzikrullah, dan masih banyak ayat tentang dzikir yang belum kami kutip. Editor sekadar mengutip dari Tafsir Sufi  


beliau”Tafsirul Qur’anil ‘Adzim,” Darul Fikr, Beirut.)

Senin, 16 Oktober 2017

Islam Kita, Oleh Habib umar bin Hafidz

ISLAM KITA MENYATUKAN, BUKAN MEMECAH BELAH UMMAT
Disampaikan Oleh: Habib Umar bin Hafidz dalam acara Jalsatuddu'at Pertama di JIC (Jakarta Islamic Center) Jakarta Utara, Ahad malam Senin 15 Oktober 2017 M
Alhamdulillah segala puji milik Allah yang telah memilih kalian untuk memikul amanah yang agung ini. Semoga Allah menolong kalian agar bisa menjalankan amanah ini dengan sebaik-baiknya. Wahai Allah rekatkanlah hati dan sanubari-sanubari kami ini dengan hati dan sanubari orang-orang yang dekat dan Engkau cintai dengan sanad yang kuat yang tersambung kepada mereka.
Hakikat keistimewaan dalam Islam adalah dengan memerdekakan nafsu kita dan juga memerdekakan orang lain dari jajahan nafsu-nafsu mereka sendiri. Allah telah menyebutkan kepada kita tentang perkara dakwah di jalan Allah dengan cara/metode dakwah yang diterima oleh Allah Swt. yang bermanfaat bagi masyarakat.
Pertama, memenuhi hati dengan pengagungan kepada Allah hingga ia takut dan berharap hanya kepada Allah Swt. Sesungguhnya Allah Swt. mengatur slogan ini di lidahnya para rasul seperti tercantum dalam al-Quran:
وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ ۖ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّ الْعَالَمِينَ
"Dan aku sekali-kali tidak meminta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam." (QS. asy-Syu'ara ayat 109, 127, 145, 164 dan 180).
Allah memuji orang-orang yang menyampaikan risalahNya dengan takut hanya kepada Allah dan menjadikan Allah sebaik-baik perlindungan:
الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالَاتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ ۗ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ حَسِيبًا
"(Yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepadaNya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai perlindungan." (QS. al-Ahzab ayat 39).
Sesungguhnya yang patut menyandang dakwah di jalan Allah adalah orang yang hatinya berharap dan takut hanya kepada Allah. Dan selama di dalam hatinya masih ada titik harapan kepada selain Allah maka pasti dia tidak akan selamat dari kekacauan dalam dakwahnya. Baik disadari maupun tanpa disadari ada kepentingan demi sesuatu yang diharapkan selain Allah atau demi kekhawatiran selain khawatir kepada Allah.
Dan kita pun membaca wahyu Allah di dalam metode dakwah yang benar, Allah memerintahkan kepada Nabi Musa dan Nabi Harun:
اذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا
"Pergilah kalian berdua kepada Fir'aun, sampaikan dakwahku, dan ucapkan kepada dia dengan penyampaian yang lembut." (QS. Thaha ayat 43-44).
Sesungguhnya akal-akal yang berpikiran bahwa 'sesungguhnya engkau belum melaksanakan nahi munkar apabila engkau tidak berucap dengan kata-kata yang kasar dan keras", maka ucapan dan pemikiran itu bertentangan dengan wahyu Allah. Lihat wahyu Allah tentang metode dakwah ini, ketika mengatakan Fir'aun telah berbuat hal-hal yang jahat dan melewati batas, seharusnya setelah kalimat ini 'kasari dia atau bunuh dia atau habisi dia', bukan. Melainkan "فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا". Justru metode dakwah kalian adalah dengan ucapan dan penyampaian yang lembut.
Adapun metode hati adalah dengan harapan dan optimisme "لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ". Mudah-mudahan ia menjadi ingat Allah atau takut kepada Allah sehingga ia menjadi sadar.
Di dalam ayat yang lain, Allah memerintahkan:
اذْهَبْ إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ. فَقُلْ هَلْ لَكَ إِلَىٰ أَنْ تَزَكَّىٰ. وَأَهْدِيَكَ إِلَىٰ رَبِّكَ فَتَخْشَىٰ
"Pergilah kepada Fir'aun, sesungguhnya ia telah melampaui batas. Dan katakanlah (kepada Fir'aun): "Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri? Dan kamu akan kubimbing ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepadaNya?" (QS. an-Nazi'at ayat 17-19).
Bahkan cara ini diajarkan oleh Allah melalui wahyu kepada para rasulNya. Ketika Nabi Musa disampaikan pengaduan dari kaumnya tentang Fir'aun yang mengganggu mereka jauh sebelum datangnya Nabi Musa, maka jawab Nabi Musa:
اسْتَعِينُوا بِاللَّهِ وَاصْبِرُوا ۖ إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ۖ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
"Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah. Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah diperuntukkan kepada siapa yang dihendakiNya dari hamba-hambaNya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. al-A'raf ayat 128).
Sesungguhnya perkara amar ma'ruf nahi munkar adalah kewajiban yang penting dan agung sampai hari kiamat. Tapi bagaimana metode dan caranya? Yakni amar ma'ruf dengan cara yang ma'ruf, dan nahi munkar pun dengan cara yang ma'ruf. Apabila engkau memerintahkan orang lain untuk berbuat hal yang ma'ruf (baik) maka perintahkan dengan cara yang ma'ruf. Dan apabila engkau mencegah orang lain dari perbuatan yang mungkar maka cegahlah mereka dengan cara yang ma'ruf, bukan mencegah kemungkaran dengan cara yang mungkar.
Ketika beberapa ulama salaf dahulu menyaksikan bagaimana masyarakat menggosipkan Hajjaj yang banyak membunuhi dan mendzalimi ummat Islam, dengan cara menggosip (ghibah) di belakang dan kenyataannya tidak menghasilkan apa-apa. Maka para ulama salaf berkata, "Sesungguhnya Allah akan menuntut apa yang dilakukan Hajjaj, sebagaimana Allah juga akan menuntut orang-orang yang menggosipkan dan mencaci maki Hajjaj atas kedzalimannya."
Dulu di masa Hajjaj, ada sekelompok sahabat Rasulullah Saw., anak-didik Rasulullah Saw., mereka tidak memahami makna mencegah dari kemungkaran dengan memaki Hajjaj, atau mengeluarkan kata-kata yang tidak baik kepada Hajjaj, atau memprovokasi massa untuk melakukan revolusi menggulingkan Hajjaj. Bukan itu yang mereka pahami dari makna 'Nahi Munkar' tersebut. Seperti sahabat Abdullah bin Umar Ra. dan para sahabat yang lain berpendirian demikian, mereka tidak ada satupun yang mendukung Hajjaj atas kedzaliman dan kemungkaran yang dia lakukan dan mereka juga tidak mencaci maki Hajjaj.
Siapa gerangan pemimpin dari semua manusia yang melakukan praktik amar ma'ruf nahi munkar? Siapa pula orang yang paling mengenal takut kepada Allah? Dan siapakah yang paling mengenal kecemburuan di dalam agama Allah? Sesungguhnya dialah Nabi Muhammad Saw.
Sebutkan, cacian apa yang pernah keluar dari lidah Rasulullah Saw. yang ditujukan kepada orang-orang musyrikin Mekkah yang dahulu pernah mengganggunya? Cacian apa yang pernah keluar dari lidah Rasulullah terhadap orang-orang munafik Madinah yang dahulu hidup di Madinah bersama Nabi? Pernahkah kita mendengar cacian Nabi Muhammad Saw. terhadap orang-orang Yahudi yang sering menggugurkan perjanjian dan kesepakatan bersama terhadap ummat Islam?
Sesungguhnya Nabi Saw. tidak menyibukkan diri dari hal demikian dan Nabi Saw. pun tidak berhenti untuk mengajak mereka (ke jalan Allah Swt.). Dan Nabi Muhammad Saw. mendirikan jihad terhadap orang-orang tersebut tetapi dengan aturan dan koridor kenabian yang diatur di dalam sunnahnya. Ketika ada satu kelompok Yahudi yang berkhianat atas suatu janji, maka yang diusir hanya satu kelompok Yahudi itu, bukan ditimpakan atas seluruh kaum Yahudi.
Dan kita semua mencintai amar ma'ruf nahi munkar dan jihad di jalan Allah, kita hidup atas hal tersebut dan rela mati untuknya, tetapi dengan cara dan metode Rasulullah Saw., Khulafaur Rasyidin dan Salafus Shalih. Dikatakan kepada Nabi Muhammad, "Ya Rasulullah, sumpahi mereka kaum musyrikin yang menyerang kita sebab mereka telah membunuh lebih dari 70 orang, juga telah membelah perut salah seorang sahabat Rasulullah, melukai dan menumpahkan banyak darah serta melakukan banyak kejahatan." Namun Nabi Saw. malah menjawab:
إنّيْ لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا؛ وَلَكِنْ بُعِثْتُ دَاعِيًا وَرَحْمَةً، اللَّهُمَّ اهْدِ قَوْمِيْ فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ
“Sesungguhnya aku tidak diutus menjadi tukang laknat, akan tetapi aku diutus untuk mengajak kebaikan dan rahmat. Ya Allah berilah petunjuk kepada kaumku karena sesungguhnya mereka belum tahu.”
Ketika ummat Islam baru pulang dari peperangan, ada orang-orang munafik memprovokasi umat Islam dengan mengatakan, "Kalau betul Nabi kalian ini Nabi yang benar maka kalian tidak akan kalah perang, kalian pasti akan menang." Maka Sayyidina Umar bin Khattab Ra. yang mendengar ucapan tersebut menjadi geram, lalu menghadap Rasulullah Saw. untuk meminta ijin membunuh mereka untuk menyelesaikan masalah ini.
Nabi Saw. menjawab, "Wahai Umar sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) mengucap La ilaha illallah."
Sayyidina Umar bin Khattab Ra. lalu berkata, "Sesungguhnya lidah mereka mengucap La ilaha illallah, tetapi hati mereka tidak."
Maka Nabi Saw. bersabda, "Saya tidak diperintahkan untuk memeriksa hati manusia."
Adapun kepada orang-orang Yahudi yang Sayyidina Umar meminta ijin membunuh mereka, Nabi Saw. berkata, "Saya punya perjanjian dengan mereka, bagaimana saya akan menggugurkannya dengan membunuhi mereka? Selama mereka mengucapkan omongan dan provokasi secara diam-diam dan mereka tidak membatalkan perjanjian ini, maka saya tidak punya jalan untuk membatalkan perjanjian ini."
Kemudian di masa tersebut ada seorang anak kecil dari keturunan Yahudi, yang mana anak kecil ini memiliki keistimewaan bisa mengetahui isi hati orang-orang dan hal yang ghaib dan membicarakannha di tengah-tengah masyarakat. Ibnu Shayyad namanya dan dikenal dengan Dajjal. Sayyidina Umar meminta ijin membunuhnya daripada membuat fitnah. Tapi Nabi menjawab, "Kalau benar Ibn Shayyad itu Dajjal, maka kau tidak akan mampu membunuhnya. Sebab sudah kusabdakan di akhir jaman nanti akan datang Dajjal yang akan melakukan hal ini dan hal itu. Kalau engkau melakukan itu berarti sabdaku tidak benar dan bohong. Kalau memang ternyata dia bukan Dajjal, maka tidak ada kebaikan bagimu ketika membunuh anak ini."
Dalam arti sesungguhnya kemarahan dan kecumburan yang seharusnya hanya untuk Allah, apabila dijadikan bukan karena Allah maka justru akan menarik orang-orang tersebut di luar jalan Allah Swt. Maka sesungguhnya tempat kemarahan, kecemburuan dan ketegasan karena Allah Swt. terhadap orang kafir tersebut, dengan cara tidak membiarkan kemungkaran-kemungkaran tersebut menyebar pada diri kita, keluarga kita dan dari dalam rumah kita.
Bukan seseorang yang mengklaim dia tegas dan marah karena Allah tetapi dia bersalaman dengan wanita yang bukan mahramnya, kemudian melakukan hal-hal yang tidak sesuai syariat Allah, terbukanya aurat bagi kaum wanitanya. Namun ketika melihat ada orang-orang yang di luar sana melakukan kemungkaran tersebut dia marah, dia bangkit, kemarahan dan emosinya siap melakukan kekerasan, sedangkan kesalahan yang ada pada keluarganya sendiri dia hanya diam seribu bahasa. Bukan itu yang dimaksud marah karena Allah Swt.
Ada salah seorang sahabat Rasulullah Saw. yang meminum minuman keras. Kemudian dibawa ke hadapan Rasulullah, dan dihukum cambuk 41 kali. Kemudian setelah itu dia melakukan lagi dan tertangkap lagi dan dicambuk 41 kali untuk kedua kalinya. Sampai dengan yang ketiga kalinya dia tertangkap lagi dan dicambuk, sehingga ada orang yang mencaci makinya.
Nabi yang mendengar caci maki itu kemudian bersabda, "Tidak, ini sudah melewati batas. Jangan mencaci maki dia. Dia sudah dihukum cambuk 41 kali. Janganlah kalian menjadi antek setan yang menjerumuskan saudaramu yang Muslim lebih jauh kepada Allah Swt." Bahkan orang itu dipuji oleh Nabi Saw., "Ketahuilah, bagaimanapun dia tetap cinta kepada Allah dan RasulNya."
Nabi Muhammad Saw. menyetujui, mengikrarkan dan menetapkan ini hukum Islam harus ditegakkan atas peminum minuman keras, tapi Nabi Saw. pun tidak memperkenankan seorang Muslim mencaci Muslim lainnya. Ini adalah timbangan kenabian.
Sayyidina Umar Amirul Mu'minin Ra. ketika menjabat sebagai Khalifah, pernah berpatroli di perumahan Kota Madinah. Ia mendapati ada sebagian pemuda yang sedang berkumpul di dalam rumah meminum minuman keras. Langsung saja ia datangi rumah tersebut dengan menaiki dinding dan langsung memarahi atas apa yang mereka lakukan.
Salah seorang dari mereka lalu berkata, "Wahai Airul Mu'minin, sesungguhnya kami mengakui telah melakukan satu kesalahan. Tapi kamu wahai Amirul Mu'minin, saat ini telah melakukan tiga kesalahan. Pertama, Allah berfirman, "Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain," (QS. al-Hujurat ayat 12) sedangkan engkau telah memata-matai kami. Kedua, Allah berfirman, "Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya," (QS. al-Baqarah ayat 189) sedangkan engkau bertamu melalui jalan dinding. Ketiga, Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlan kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta ijin dan memberi salam kepada penghuninya," (QS. an-Nur ayat 27) Sedangkan engkau tidak melakukan hal itu."
Kemudian Sayyidina Umar berkata, "Baiklah, mari kita sama-sama bertaubat kepada Allah." Akhirnya beliau pun pergi meninggalkan mereka.
Dan ketika melihat itu Sayyidina Umar pun tidak jadi menghukum mereka. Padahal Sayyidina Umar adalah orang yang disabdakan Nabi Saw. dengan sifat, "Sesungguhnya Allah menjadikan yang haq (kebenaran) di dalam hati dan ucapan Umar bin Khaththab."
Dan yang mengharamkan mereka (para pelaku maksiat) pada masa sekarang ini adalah mereka yang suka memata-mati orang lain, mencari-cari kesalahan orang lain, mencaci maki orang lain, dan melakukan hal-hal mungkar lainnya meskipun dengan dalih untuk menghilangkan kemungkaran. Dan hal-hal seperti ini semuanya adalah hal yang diharamkan di dalam agama Islam. Siapapun dia, dari anggota partai manapun, dari organisasi manapun dan dari kelompok manapun, tetap haram melakukan hal-hal tersebut.
Barangsiapa yang ingin membela dan berjuang untuk agama Islam, maka wujudkan perjuangan dan pembelaan tersebut dengan kesungguhan kepada Allah Swt. dan peneladanan terhadap Nabi Muhammad Saw. Dan barangsiapa yang ingin mencegah orang lain dari kemungkaran, jangan karena salah kaprah hingga justru menimbulkan kemungkaran-kemungkaran lainnya yang bahkan lebih besar.
Dahulu, sekitar 50 tahun yang lalu di sebuah wilayah, saat itu sedang digembar-gemborkan revolusi diantara negara-negara Islam. Sehingga ada beberapa ulama yang terpengaruh dengan bujukan revolusi hingga ikut-ikutan terhadap jamaah dan kelompok yang mengatasnamakan Islam tersebut di dalam memperjuangkan revolusi bagi kaum Muslimin. Dan setelah memenangkan revolusi itu, kemudian masuk pengaruh politik dan lain sebagainya, hingga dia dan kelompok yang tadinya berperan dalam revolusi dalam negara tersebut malah akhirnya jadi korban politik dan dipenjarakan di penjara khusus. Penjara yang sangat ketat bahkan untuk buang hajat pun hanya dibolehkan di waktu-waktu yang sudah ditentukan.
Hingga dia menulis sebuah surat, "Dahulu sebelum revolusi, kita mencari dan menuntut kebebasan untuk berbicara. Namun setelah revolusi, kami menuntut kebebasan hanya sekadar untuk buang hajat." Artinya, apa yang mereka cita-citakan dahulu tidak sesuai dengan hasil yang mereka terima.
Dan saya (Habib Umar bin Hafidz) sempat berjumpa dengan tokoh tersebut di penghujung akhir hayatnya. Saat itu hatinya benar-benar dipenuhi dengan pengagungan dan penghormatan kepada orang-orang yang shalih dan mulia yang menempuh jalan thariqah orang-orang yang tidak mau menodai tangan mereka dengan darah dan menodai lisan mereka dengan caci makian terhadap orang lain.
Ketahuilah, kita sekarang berada di hadapan sebuah perkara yang agung dan penting. Dan keberadaan kita adalah untuk mengevakuasi dan menyelamatkan ummat. Dan di hadapan kita adalah sebuah jalan tempuh dan metodenya orang-orang shalih. Jalan mereka adalah Ahlussunnah wal Jama'ah.
Adalah mereka orang-orang yang mengagungkan sunnah Nabi Saw. dengan mengagungkan ucapan Rasulullah Saw., mengagungkan setiap detail perbuatan Rasulullah Saw., bahkan diamnya Rasulullah Saw. dan semua keadaan Rasulullah Saw. mereka agungkan, terobsesi dan mengidolakannya. Inilah makna Ahlussunnah. Sedangkan makna al-Jama'ah, adalah hati mereka satu sama lain saling menghormati, saling mencintai dan saling menjaga persatuan.
Dan mereka orang-orang yang menempuh jalan istiqamah, jalan yang lurus ini, mereka tidak terpengaruh dengan arus manapun seberapapun derasnya ataupun hembusan angin yang mengarah ke kanan atau kiri, mereka tetap konsekuen atas fatwa yang mereka ucapkan.
Adapun orang-orang yang terpengaruh dengan hembusan kanan ikut ke kanan, hembusan kiri ikut ke kiri, maka orang yang semacam itu setiap kali ada perubahan pendiriannya juga ikut berubah. Hari ini berfatwa, besok saat ada perubahan ia sampaikan lagi fatwa yang bertentangan dengan fatwa yang pertama. Berubah lagi keadaan ia sampaikan fatwa yang berbeda lagi dengan sebelumnya, begitu seterusnya tidak konsisten.
Mari kita bangkit untuk mengevakuasi dan menyelamatkan ummat. Dan maksud atau tujuan dari perkataan ini, saat ini, bukanlah untuk menyibukkan diri mencaci kelompok yang berbeda dengan kita, berbeda cara dengan kita. Melainkan untuk memberikan penjelasan kepada kita, agar menjadi terang dan jelas metode yang benar ini.
Dan di hadapan kalian ini adalah ada sebuah risalah, risalah masjid. Yang mana risalah itu untuk mengajak manusia kepada ilmu dan dakwah ke jalan Allah Swt. Maka kita harus bisa mengayomi semuanya. Membawa semuanya ke jalan Allah Swt. dengan cara yang benar.
Dan kalian berinteraksi dengan orang-orang ahli politik dan yang tidak berkecimpung dalam politik, juga berinteraksi dengan orang-orang yang telah terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran di luar Islam, atau berinteraksi dengan orang-orang yang berpikiran benar, berinteraksi dengan orang-orang yang bermaksiat dan taat, juga berinteraksi dengan semua lapisan masyarakat. Tetapi yang sesuai dengan koridor yang diatur di dalam metode kenabian dan juga tolak ukur dan timbangan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. agar tidak kebablasan.
Melalu masjid-masjid ini mari kita jadikan sarana untuk mengakurkan, mendamaikan serta memperbaiki keadaan masyarakat. Dan untuk menenangkan hati masyarakat serta membantu masyarakat dengan ilmu, pikiran, sedekah dan infaq kita melalui masjid. Dan hidupkan kembali sunnah untuk menyambangi, menjenguk dan membantu orang yang sedang sakit. Pikirkan bagaimana menarik orang-orang yang belum mengenal masjid agar menjadi segan datang ke masjid.
Dengan tugas penting ini, maka banyak orang yang akan mengambil manfaat dan terselamatkan dari kegelapan. Justeru dengan hal semacam ini akan mempunyai pengaruh dan andil besar di dalam menolak balak dan musibah dari ummat Islam. Dan sesungguhnya manakala metode ini dijalankan, maka manfaat yang kalian berikan bukan hanya untuk masyarakat Indonesia tapi menyebar ke seluruh lapisan masyarakat yang ada di dunia ini. Sebab Nabi Muhammad Saw. diutus bukan hanya untuk di wilayah tertentu melainkan untuk alam seluruhnya, maka luaskan manfaat dan semangat kita untuk mereka semua.
Semoga Allah menganugerahkan kita sebaik-baiknya peneladanan terhadap Nabi Muhammad Saw. Dan mengikuti metode Nabi Muhammad Saw. Dan Allah memperkuat hubungan dan sanad antara kita dengan Nabi Muhammad Saw. Dan Allah jadikan kita semua termasuk orang-orang yang menggembirakan Nabi Muhammad Saw. Dan semuanya dikumpulkan di barisan Nabi Muhammad Saw.
Sesungguhnya barusan para guru kita dan para wakil kita telah duduk bersama, bersepakat untuk kemaslahatan ummat yang perlu segera kita realisasikan bersama. Dan semua poin-poin yang telah kita sepakati tadi adalah benih yang akan membuahkan menolak balak dan musibah dari ummat ini dan mendatangkan kemanfaatan yang besar, apabila benih ini kita sirami dengan tiga hal; kejujuran, keikhlasan dan kesungguhan.
Semoga Allah memberkahi benih yang baru saja kita tanami bersama. Memberikan taufiq di dalam menyiraminya. Dan memberkahi buah yang akan keluar darinya. Dan Allah perlihatkan kepada kita semua buah darinya, di dunia dan akhirat. Amin.